
JAKARTA, www.komando.top - Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo hanya sempat duduk di kursi Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I selama tiga bulan.
Pada 29 April 2025, namanya masuk dalam daftar 237 perwira tinggi TNI yang dirotasi berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025.
Letjen Kunto dipindahkan ke jabatan Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat, posisi yang sering dianggap sebagai "parkir politik" dalam tubuh militer.
Penggantinya, Laksamana Muda Hersan, adalah figur yang dekat dengan lingkar kekuasaan sipil. Hersan sebelumnya menjabat Pangkoarmada III dan dikenal luas sebagai mantan ajudan Presiden Joko Widodo.
Rotasi ini sontak menimbulkan tanya: apa alasan di balik pergantian cepat atas seorang jenderal dengan rekam jejak profesional dan bersih dari aroma politik?
Jenderal Profesional di Antara Arus Politik
Putra dari mantan Wakil Presiden RI Try Sutrisno ini meniti karier militer tanpa banyak sorotan publik, namun punya catatan yang kuat.
Dari Danpaspampres, Pangdam Siliwangi, hingga jabatan strategis di Mabes TNI, Kunto dikenal sebagai pemimpin lapangan yang empatik dan tidak terlibat dalam politik praktis.
Kunto jarang tampil di media, namun dihormati di internal karena pendekatannya yang humanis dan ketegasannya menjaga garis profesionalisme.
Namun, justru karena ia terlalu netral, banyak yang menilai Kunto menjadi "terlalu bersih" untuk lanskap militer-politik yang kian pragmatis.
Di era ketika loyalitas pribadi dianggap lebih berharga dari kinerja, netralitas bisa dianggap sebagai ketidakpastian.
Pos Kunci di Medan yang Panas
Sebagai Pangkogabwilhan I, Letjen Kunto memegang komando atas wilayah strategis seperti Natuna, perbatasan barat, dan wilayah udara serta maritim yang rawan eskalasi.
Posisi ini adalah ujung tombak kesiapsiagaan militer Indonesia di hadapan potensi konflik regional.
Maka pergantian cepat pada posisi ini bukan perkara sepele. Ia membuka celah pada kesinambungan komando dan strategi operasi.
Penunjukan Laksda Hersan, yang meski punya pengalaman administratif namun belum dikenal sebagai operator tempur utama, menimbulkan pertanyaan: adakah kalkulasi politik di balik keputusan ini?
Mutasi Mendadak: Antara Loyalitas, Pemetaan Kekuatan, dan Kalkulasi Politik
Dalam struktur kekuasaan yang tengah berubah, banyak analis membaca mutasi ini sebagai bagian dari pemetaan kekuasaan menjelang pemerintahan baru Prabowo Subianto.
Figur-figur yang dekat dengan lingkaran Presiden Jokowi tampaknya masih menanam pengaruh strategis.
Letjen Kunto, yang tidak jelas berpihak, menjadi terlalu berisiko dibiarkan di posisi penting. Maka solusi paling aman adalah menepikannya ke jabatan yang tidak operasional, sekaligus memberi ruang bagi loyalis untuk mengisi titik-titik kendali.
Di Balik Seragam: Transisi Kekuasaan dan Tarik-Menarik Loyalitas di Tubuh TNI
Transisi dari Presiden Jokowi ke Prabowo bukan hanya soal pelantikan, tapi juga soal konsolidasi. Di tubuh TNI, ini tercermin lewat reposisi strategis di pos-pos kunci.
Nama-nama yang pernah menjadi ajudan, sekretaris militer, atau pendamping setia kekuasaan sipil kini merangsek naik.
Ini bukan fenomena baru, namun tetap berbahaya. Karena TNI, yang seharusnya menjadi institusi netral dan independen, berisiko kembali terjebak sebagai alat kekuasaan, bukan penjaga negara.
Letjen Kunto hanyalah satu contoh nyata dari betapa rentannya perwira profesional dalam pusaran politik negara.
Pengamat Bicara, Bisik-Bisik Tentara Menggema
"Pak Kunto terlalu profesional untuk zaman sekarang," ujar seorang analis militer. Seorang perwira di Mabes AD menyebut, "Dia nggak punya backing, tapi dihormati semua pasukan. Itu kadang bikin resah sebagian elite."
Kutipan-kutipan semacam ini menyebar dari forum internal hingga grup-grup diskusi perwira. Di kalangan prajurit bawah, simpati untuk Kunto mengalir diam-diam—tanda bahwa di balik struktur hierarkis TNI, masih ada nalar moral yang bekerja.
Arah TNI: Di Persimpangan Antara Negara dan Kekuasaan
Mutasi Letjen Kunto bukan akhir, tapi sinyal. Tentang bagaimana profesionalisme bisa dianggap terlalu berbahaya. Tentang bagaimana loyalitas kepada negara mulai dipertukarkan dengan loyalitas kepada penguasa.
Dalam bulan-bulan ke depan, arah TNI akan ditentukan: apakah tetap menjadi garda netral republik atau sekadar bayang-bayang kekuasaan yang sedang berganti.
Letjen Kunto mungkin telah disingkirkan dari garis depan. Tapi kisahnya tetap menjadi pengingat: bahwa diamnya seorang jenderal profesional bisa lebih nyaring dari teriakan siapa pun di dalam istana.