Oleh: Nasib TS
Kentongan piranti komunikasi tradisional yang andal dalam berbagai keadaan. Tak pernah bohong menginformasikan peristiwa. Sebuah kearifan lokal terpercaya yang memberi banyak pelajaran tentang bagaimana sistem pertahanan sosial budaya menjaga akurasi berita di zamannya.
***
Sebuah kentong kayu tua tergantung menempel pada sebatang pohon nangka di halaman sebuah masjid Kampung Titipayung Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deliserdang provinsi Sumatera Utara. Dilihat dari tekstur kayu yang mulai keropos di sana sini menunjukkan usia kentongan itu sudah uzur. Tidak ditemukan alat pemukul yang biasanya diletakkan pada rongga kentong, menandakan benda warisan tradisi itu sudah pensiun.
“Kini bunyi kentongan sudah lama tak terdengar di kampung kami. Fungsinya sudah tergantikan oleh alat pengeras suara elektronik, gawai dengan sejumlah aplikasi media sosialnya, radio komunikasi, alaram dan perangkat komunikasi canggih lainnya,” kata sesepuh Kampung Titipayung, Damiri Mahmud.
Kentong adalah alat bunyi tradisional, terbuat dari potongan kayu gelondongan yang dilubangi. Kalau ditabuh menggunakan pemukul yang juga terbuat dari kayu akan menimbulkan efek suara yang nyaring. Bisa terdengar radius 500-1.000 meter. Secara tradisi suara kentong dijadikan alat komunikasi masyarakat Indonesia sebagai penanda warga berkumpul untuk bergotong royong, kabar duka cita kalau ada warga kampung meninggal dunia, peringatan tanda bahaya, bencana alam, penanda waktu kerja di perkebunan dan lain sebagainya. Masyarakat tradisional di sejumlah wilayah di Indonesia mengenal kentong yang dimanfaatkan sebagai alat komunikasi sosial sejak zaman nenek moyang.
Di Sumatera Utara, khususnya di daerah perkebunan, kentong berperan sebagai alat komunikasi perusahaan mengisyaratkan jadwal kegiatan kerja para karyawan. Memanfaatkan kentong menjadi alat kerja perusahaan perkebunan sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka faham akan fungsi penting kentong sebagai alat komunikasi tradisi yang terpercaya.
“Kentong merupakan kearifan lokal yang secara turun temurun dipakai masyarakat sebagai sarana komunikasi massa yang sangat efektif dan terpercaya,” imbuh Damiri.
Jejak pemanfaatan kentong oleh masyarakat tradisional Sumatera Utara masih bisa dilihat sampai sekarang, antara lain di surau, balai desa, masjid, madrasah dan kantor-kantor administrasi perkebunan. Di kantor administrasi PTPN2 Kebun Mariendal, Deliserdang, Sumatera Utara, misalnya. Kentong kayu masih tergantung di gawang antara dua tiang besi yang terletak dekat Pos Hansip. Alat bunyi ketuk itu seakan menjadi saksi bisu kejayaan kebun tembakau di kawasan itu pada masa lampau. Kini, suara kentong yang dulu berjasa membangunkan dan mengajak para karyawan turun ke kebun, sudah lama tidak terdengar lagi.
“Kalau dulu hansip terlambat memukul kentong pada jadwal yang ditentukan kena marah atasannya. Sekarang ini, bunyi kentong sama sekali malah tidak pernah kedengaran lagi,” kata Ngadio, mantan buruh kebun yang bermukim di sekitar kantor perkebunan itu.
Suparman, salah seorang petugas sekuriti perkebunan mengakui, dulu suara kentong dari kantor administrasi kebun merupakan bagian dari alat disiplin kerja. Kalau ada bunyi kentong, berarti ada aktivitas kerja di perkebunan.
“Dalam satu hari ada tujuh kali kentong dibunyikan,” kata Suparman dibenarkan rekannya, Dalimin.
Dalimin menguraikan, bunyi kentong pertama menjelang subuh bertujuan membangunkan karyawan. Setelah kentong pertama, karyawan diharapkan bersiap-siap dulu sebelum terjun ke kebun. Bunyi kentong kedua pada pukul 06.30, waktunya karyawan turun ke kebun. Kentong ketiga pukul 09.00, saatnya karyawan sarapan. Kentong keempat pukul 10.00, waktunya karyawan kembali bekerja. Kentong kelima pukul 12.00 saatnya istirahat. Kentong keenam pukul 14.00 saat kembali bekerja. Kentong ketujuh pukul 16.00, saatnya karyawan pulang kerja.
“Bunyi kentong yang selalu tepat waktu, membuat warga sekitar perkebunan yang tidak memiliki jam dinding atau arloji memanfaatkan bunyi kentong perkebunan sebagai penanda waktu,” timpal Suparman.
Tak Pernah Bohong
Sulaiman Sambas, tokoh masyarakat yang juga pemerhati budaya asal Deliserdang Sumatera Utara mengatakan, dengan keterbatasannya kentong berfungsi sebagai alat komunikasi terpercaya di zaman masyarakat masih menjunjung kearifan nilai-nilai budaya yang luhur. Kentong menjadi alat komunikasi massa sekaligus semacam alarm pengingat masyarakat untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur budaya itu dalam kehidupan nyata. Masyarakat tempo dulu sangat hafal jenis-jenis bunyi kentong. Setiap mendengar suara kentong diketuk, warga zaman dulu secara otomatis menafsirkan dengan tepat pesan yang disampaikan oleh alat komunikasi massa tradisional itu.
“Setiap mendengar bunyi kentong, masyarakat segera tahu kabar yang disampaikan oleh bunyi kentong itu. Apakah sebagai penanda kabar duka karena ada warga kampung meninggal, perintah bergotong royong , penanda waktu salat atau bunyi kentong pertanda bahaya. Kabar apa pun yang disampaikan melalui bunyi kentong, masyarakat merespons positif dengan cara menindaklanjuti sesuai ajaran budaya nenek moyang” katanya.
Sulaiman mencontohkan, bila ada mendengar bunyi isyarat kentong untuk bergotong royong, maka warga bergegas untuk berkumpul dan berbaur untuk melaksanakan gotong royong. Ada perasaan malu bila tidak muncul ikut bergotong royong. Biasanya, sesama warga akan menandai siapa yang rajin dan siapa yang jarang aktif dalam kegiatan sosial itu. Demikian pula ketika ada warga yang meninggal, terkena musibah, bencana alam dan lainnya. Warga langsung merespons kabar yang disampaikan lewat bunyi kentong, sesuai nilai-nilai budaya dan adat setempat. Dalam posisi itu, kentong berfungsi sebagai alarm penggerak masyarakat untuk mengimplementasikan nilai-nilai tradisi budaya luhur gotong royong, membangun solidaritas, mengeratkan kekeluargaan, menjaga disiplin, keterbukaan melalui musyawarah dan kebersamaan.
“Sebagai alaram penggerak masyarakat mengimplementasikan ajaran tradisi, kentong tidak pernah mengisyaratkan kabar bohong,” kata pria berusia 71 tahun itu.
Sulaiman memaparkan, kentong, menyampaikan kabar berdasarkan ritme ketukan sesuai kesepakatan yang sudah dihafal warga. Tidak pernah nada kentong untuk mengumpulkan warga bergotong royong, dipakai untuk mengabarkan tanda bahaya. Bila kentong dipukul dengan tempo yang tak beraturan artinya pertanda bahaya. Kentong yang dipukul berirama tinggi menurun dan ketukan yang mengalun panjang berarti alamat ada warga kampung yang meninggal. Bila kentongan dipukul panjang berarti yang meninggal berusia tua. Bila dipukul dalam tempo sedang, yang meninggal masih dalam usia muda. Bila tempo pendek yang meninggal masih anak-anak. Warga kampung memercayai dan menyepakati bunyi-bunyi khas kentong dan arti pesan yang disampaikan.
“Dari hanya bunyi kentongan, berbagai kabar tersampaikan dengan benar. Tidak pernah disalahgunakan untuk sengaja mengecoh dengan informasi yang salah. Karena itulah, biasanya pemukul kentong merupakan tetua kampung yang dihormati, dipercaya dan teruji kejujurannya,” terang Sulaiman.
Kearifan Kentong
Zaman berubah. Sistim komunikasi menyampaikan kabar kepada masyarakat sudah menemukan format barunya melalui jejaring media sosial dengan dukungan internet. Sayangnya kecanggihan alat komunikasi kini tidak lagi menjamin akurasi sebuah berita. Banyak berita-berita bohong berseliweran di jagad maya sekadar untuk sensasi, mengejar viral atau malah disengaja untuk tujuan-tujuan provokasi demi kepentingan tertentu. Dampaknya lebih jauh cukup berbahaya. Dari sebuah rekayasa informasi bisa menyulut perpecahan antar kelompok masyarakat bahkan perpecahan sebuah bangsa.
Kearifan kentong sebagai alat tradisional penyampai kabar terpercaya, tidak terlepas dari sistem pertahanan budaya masyarakat pada zaman “kentong masih berbunyi”. Pada saat itu adat istiadat masih mengikat tatanan kehidupan masyarakat, kearifan budaya masih menjadi pegangan. Masyarakat masih menerapkan solidaritas, toleransi, musyawarah dan gotong royong. Sulaiman Sambas pun tidak menyangkal, kentong sebagai kearifan alat komunikasi tradisi merupakan lokomotif dan komando berbagai kearifan lokal lainnya yang berlaku di masyarakat. “Ini juga yang menjelaskan mengapa zaman dulu masyarakat jarang yang mudah terbakar oleh informasi yang mengecoh. Selain kejujuran informasi yang terjaga, juga rasa kebersamaan masyarakatnya cukup kental sehingga perpecahan oleh sebuah hasutan menjadi sesuatu yang mustahil dan diharamkan,” katanya.
Rahasia di balik kejujuran dan akurasi berita yang disampaikan kentong, terletak pada sistem pertahanan budaya masyarakat yang masih menerapkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Mereka memercayai ajaran para tetua yang menyatakan, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Berbohong adalah dosa. Tidak hanya menjaga kejujuran informasi, kearifan lokal yang mengajarkan solidaritas kebersamaan dan kekeluargaan antarwarga dapat menjadi benteng tangguh terhadap masuknya hasutan-hasutan yang bertendensi merusak persatuan dan kesatuan warga.
Sulaiman.menambahkan, seandainya terjadi perselisihan antar warga, mereka telah memiliki sistem penyelesaian yang arif bijaksana. Bukan penyelesaian yang bar-bar dan anti damai. Setiap kelompok masyarakat punya mekanisme kearifan lokal mengatasi perselisihan ini dengan cara yang damai. Contohnya, dalam masyarakat Islam disebut tabayun, merupakan sistem mengakurkan perselisihan yang direkomendasikan para ulama.
“Teror dan perang bukan jalan keluar menghadapi perselisihan yang diajarkan kearifan lokal masyarakat kita,” tutur Sulaiman.
Kini di zaman teknologi informasi, masyarakat seakan malah tersesat di ujung jalan kebenaran informasi. Hoax berseliweran di media komunikasi massa. Provokasi, fitnah hingga radikalisme. Semua itu merupakan informasi jahat menyesatkan. Apa yang harus dilakukan?
“Tidak ada jalan lain. Pepatah mengajarkan, bila tersesat di ujung, kembali ke pangkal. Karena itu kita harus kembali ke pangkal ajaran tradisi yang menjaga persatuan dan, kesatuan serta kesantunan bangsa melalui kearifan lokal sebagai bagian dari sarana sistem pertahanan budaya bangsa. Alaram komandonya adalah kentong,” pungkas Sulaiman. (*)